Jakarta, NKRI News ID – Babak baru pengawasan konten digital di Indonesia dimulai. Komisi Digital Indonesia (Komdigi), yang berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), secara resmi mengumumkan akan memanggil perwakilan TikTok Indonesia dan Meta Indonesia. Pemanggilan ini merupakan buntut dari masifnya peredaran konten provokatif dan hoaks selama aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh di depan Gedung DPR RI pada hari Selasa, 26 Agustus 2025.

Langkah tegas ini diambil setelah Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Angga Raka Prabowo mengidentifikasi lambatnya penanganan konten negatif yang berpotensi memperkeruh suasana dan memecah belah publik. Artikel ini akan mengupas tuntas kewenangan Komdigi, tiga kategori konten spesifik yang dipermasalahkan, analisis mengapa moderasi platform dianggap gagal, hingga rincian potensi sanksi yang mengancam kedua raksasa teknologi tersebut.

Logo Komdigi, TikTok, dan Meta sebagai ilustrasi pemanggilan terkait moderasi konten demo DPR

Siapa Komdigi dan Apa Kewenangannya Memanggil Platform Digital?

Bagi sebagian masyarakat, nama Komdigi mungkin masih terdengar asing. Komisi Digital Indonesia adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk membantu merumuskan kebijakan dan melakukan pengawasan terhadap ekosistem digital di tanah air. Kewenangan mereka untuk memanggil Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) seperti TikTok dan Meta memiliki dasar hukum yang kuat.

Menurut Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, setiap PSE diwajibkan untuk memastikan platformnya tidak memfasilitasi penyebaran konten yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Ketua Komdigi, Budi Arie Setiadi, dalam konferensi pers hari Rabu (27/8/2025), menegaskan bahwa pemanggilan ini adalah bagian dari fungsi pengawasan untuk memastikan kepatuhan tersebut.

Insight NKRI News ID melihat langkah ini sebagai evolusi dari pendekatan pemerintah, dari yang sebelumnya reaktif (memblokir setelah viral) menjadi lebih proaktif (memanggil untuk evaluasi sistemik). Ini menandakan bahwa fokus pemerintah tidak lagi hanya pada konten, tetapi juga pada algoritma dan mekanisme moderasi platform itu sendiri.

Baca Juga: Ricuh Demo DPR: Kronologi Lengkap, Latar Belakang, Tuntutan Massa, dan Analisis Dampaknya (Terbaru)

3 Kategori Konten Demo DPR yang Dipermasalahkan Komdigi

Komdigi tidak hanya berbicara secara umum. Mereka telah mengidentifikasi setidaknya tiga kategori konten spesifik yang lolos dari filter moderasi TikTok dan Meta selama dan pasca-demo di DPR.

Menurut laporan patroli siber yang dirilis oleh lembaga advokasi kebebasan berekspresi SAFEnet, lonjakan konten berbahaya selama peristiwa demo mencapai 300% dibandingkan hari biasa. Berikut adalah rinciannya:

1. Hoaks dan Disinformasi Seputar Aksi

Kategori ini mencakup unggahan video dan narasi palsu yang sengaja dibuat untuk memprovokasi. Contohnya termasuk:

  • Video lama dari kerusuhan di negara lain yang diberi narasi seolah-olah terjadi di Jakarta.

  • Kabar bohong mengenai jumlah korban jiwa yang tidak terverifikasi.

  • Tudingan palsu yang menyasar individu atau kelompok tertentu sebagai dalang kerusuhan.

2. Ujaran Kebencian Berbasis SARA

Platform media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi kebencian yang menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Konten ini bertujuan membenturkan kelompok masyarakat dan sangat berbahaya bagi kerukunan nasional.

3. Ajakan Kekerasan dan Tindakan Anarkis

Yang paling mengkhawatirkan adalah konten yang secara eksplisit berisi ajakan untuk melakukan kekerasan lebih lanjut, seruan untuk merusak fasilitas umum, serta glorifikasi tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum perusuh.

konten hoaks terkait kericuhan demo DPR yang menjadi alasan Komdigi panggil TikTok dan Meta

Mengapa Moderasi Konten TikTok dan Meta Dianggap Gagal?

Pemanggilan ini secara implisit menyatakan bahwa sistem moderasi otomatis (AI) dan tim moderator manusia dari kedua platform dianggap gagal atau kewalahan. Ada beberapa faktor penyebabnya. Menurut studi dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, kecepatan penyebaran konten viral, terutama dalam format video pendek seperti di TikTok, seringkali melampaui kecepatan proses verifikasi dan moderasi.

Algoritma yang didesain untuk mendorong engagement (keterlibatan pengguna) justru menjadi pedang bermata dua. Konten yang paling provokatif dan emosional cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi (like, comment, share), sehingga algoritma justru “membantu” penyebarannya sebelum sempat ditinjau oleh moderator.

Insight NKRI News ID menganalisis bahwa tantangan terbesar bagi platform global seperti TikTok dan Meta adalah kurangnya pemahaman konteks lokal (bahasa, slang, isu politik) dalam sistem moderasi AI mereka. Hal ini menyebabkan banyak konten berbahaya yang lolos karena tidak terdeteksi sebagai pelanggaran oleh sistem standar mereka.

 

Potensi Sanksi yang Menanti TikTok dan Meta Jika Terbukti Lalai

Jika dalam proses pemeriksaan nanti TikTok dan Meta terbukti lalai dan tidak memiliki mekanisme mitigasi yang memadai, serangkaian sanksi administratif telah menanti. Menurut pakar hukum siber dari Universitas Padjadjaran, Dr. Sinta Dewi, sanksi ini dapat diterapkan secara bertahap sesuai dengan tingkat pelanggaran yang diatur dalam UU ITE dan peraturan turunannya.

Berikut adalah kemungkinan sanksi yang bisa dijatuhkan:

  • Peringatan Tertulis: Sanksi paling ringan berupa teguran resmi agar platform segera memperbaiki sistem moderasinya.

  • Denda Administratif: Jika pelanggaran dianggap serius dan berulang, pemerintah dapat menjatuhkan denda dalam jumlah yang signifikan.

  • Pemutusan Akses Sementara (Blokir): Sebagai sanksi pamungkas jika platform tidak menunjukkan itikad baik untuk bekerja sama, Kominfo memiliki kewenangan untuk memblokir akses ke platform tersebut di seluruh Indonesia.

Gedung Kominfo Jakarta, lokasi Komdigi akan memanggil TikTok dan Meta terkait konten demo DPR

FAQ: Pertanyaan Umum Seputar Pemanggilan TikTok & Meta

1. Apa itu Komdigi?

Komisi Digital Indonesia (Komdigi) adalah badan di bawah Kominfo yang bertugas membantu merumuskan kebijakan dan mengawasi ekosistem digital di Indonesia, termasuk platform media sosial.

2. Mengapa hanya TikTok dan Meta yang dipanggil?

TikTok dan Meta (yang menaungi Facebook, Instagram, dan WhatsApp) merupakan dua platform dengan pengguna terbesar di Indonesia dan menjadi saluran utama penyebaran konten viral terkait demo DPR kemarin.

3. Konten seperti apa yang dianggap melanggar aturan?

Konten yang melanggar meliputi hoaks/disinformasi, ujaran kebencian berbasis SARA, dan ajakan untuk melakukan kekerasan atau tindakan anarkis.

4. Apa dasar hukum Komdigi melakukan pemanggilan ini?

Dasar hukum utamanya adalah UU ITE dan Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020 yang mewajibkan setiap PSE untuk menyaring konten yang dilarang.

5. Apa dampak pemanggilan ini bagi pengguna biasa?

Bagi pengguna, dampak positifnya adalah potensi platform menjadi lebih bersih dari konten berbahaya. Namun, ada juga kekhawatiran moderasi yang terlalu ketat dapat membatasi kebebasan berekspresi.

6. Apakah TikTok dan Meta sudah memberikan tanggapan resmi?

Hingga Rabu (27/8/2025) siang, kedua perusahaan menyatakan akan kooperatif dan memenuhi panggilan Komdigi, serta berkomitmen untuk terus meningkatkan keamanan platform mereka.

7. Apa sanksi terberat yang bisa diterima TikTok dan Meta?

Sanksi terberat adalah pemutusan akses atau pemblokiran total platform mereka di Indonesia oleh Kominfo jika terbukti melakukan pelanggaran berat dan berulang.


Tentang Penulis:

Riana Putri adalah jurnalis teknologi dan kebijakan publik di NKRI News ID. Dengan spesialisasi pada persimpangan antara teknologi, regulasi, dan dampaknya terhadap masyarakat, Riana telah menulis berbagai laporan mendalam mengenai ekosistem digital di Asia Tenggara selama lebih dari 8 tahun.

Referensi:

  • Siaran Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika No. 212/HM/KOMINFO/08/2025.

  • Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

  • Laporan “Digital Haze: Content Moderation during Social Unrest”, SAFEnet, Agustus 2025.

  • Wawancara dengan Dr. Sinta Dewi, Pakar Hukum Siber Universitas Padjadjaran, 27 Agustus 2025.


Bagikan Pandangan Anda

Apakah langkah Komdigi memanggil TikTok dan Meta sudah tepat? Atau ini berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat di dunia maya? Sampaikan analisis Anda di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar diskusi menjadi lebih kaya.

Di era digital, pertarungan sesungguhnya bukanlah antara pemerintah dan platform, melainkan antara informasi yang membangun dan disinformasi yang merusak.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *